iklan

Proposal Penelitian Santri Tentang Kewibawaan

Berikut ini adalah contoh dari makalah tentang santri, langsung saja kita ke materi.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses pembelajaran yang melibatkan berbagai komponen yang saling behubungan (interpendent). Komponen tersebut menurut Tabrani Rusyan (1962: 167-168) adalah tujuan, bahan, pelajar, guru, metode, situasi dan evaluasi. Salah satu faktor yang sangat menentukan berhasilnya proses belajar mengajar di dalam kelas adalah guru. Peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal, sebagaimana dikemukakan oleh Adam dan Decey yang dikutip oleh Uzer Usman (2002: 9) antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, perencana, supervisior, motivator dan , konselor.
Mengingat betapa besarnya peranan guru itu, maka kepribadian guru yang banyak terungkap dalam tingkah lakunya sehari-hari banyak disimak dan diamati oleh anak didik, didalam dan diluar lingkungan sekolahnya, begitu pula dilingkungan pesantren.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan tersebut sudah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Oleh karena itu namanya berasal dari bahasa Arab, yaitu “funduk” yang berarti tempat menginap atau asrama, sedangkan pesantren dengan awalan (pe) dan akhiran (an) berasal dari santri, bahasa Tamil yang berarti penuntut ilmu. (Amir Feisal, 1995: 19).
Dalam lingkungan pesantren, kiai dikatakan sebagai unsur yang utama sekaligus pengelola pendidikan, karena semua arah kebijakan berada pada kiai. Begitupun posisi dan misi kiai sangat penting sekaligus berat, bahkan Athiyah Al-Abrasy (1987: 135-136) yang dikutip oleh Pupuh  Faturrahman (2000: 186) menempatkan posisi seorang guru atau pendidik dalam posisi atau kedudukan yang sangat tinggi, sederajat dengan Rasul dan tinta seorang ulama (ilmuwan) lebih berharga ketimbang darah para syuhada. Sabda Rasul SAW. :
قل للِْمعلّم وقه التّبجيْل # كا دالمعلّم ان يكون رسولً
Artinya: “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”.
Dari kutipan hadist diatas jelaslah bahwa seorang kiai akan sangat dihormati dan dihargai oleh santrinya karena kedudukan dan derajatnya. Seorang kiai yang memiliki kewibawaan ia akan selalu bersikap bijak dan memilki karismatik sehingga santrinya akan merasa segan dan disiplin dalam menjalankan segala aktivitasnya. Mengenai pentingnya kewibawaan untuk dimiliki oleh setiap pendidik untuk menumbuhkan kedisiplinan anak didiknya dalam belajar, Abi Ahmadi dan Uhbiyati (1991: 57-58) menjelaskan:
“kewibawaan merupakan syarat mutlak dalam pendidikan, artinya, jika tidak ada kewibawaan maka pendidikan itu tidak mungkin terjadi, sebab dengan kewibawaan, segala bentuk bimbingan yang diberikan oleh pendidik akan diikuti secara sukarela oleh anak didik, sehingga tanpa kewibawaan pendidikan akan kehilangan predikatnya sebagai pendidik”.
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa kewibawaan haruslah dimiliki oleh seorang pendidik atau kiai, karena dengan kewibawaan tersebut seorang santri dapat menjalankan aktivitasnya secara teratur dan disiplin sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan karena merasa ada suatu figur yang disegani oleh mereka.
Menurut Horikashi yang dikutip oleh Ahmad Tafsir (1994: 194) kekuatan kiai berakar pada:
1.      Kredibilitas moral, yaitu didukung oleh keilmuan (pengetahuan agama dan kemampuan membaca kitab), kesalihan pribadi (termasuk ketaatan dalam melakukan ibadah ritual) dan pelayanan kepada masyarakat muslim (dalam arti luas).
2.      Kemampuan memperhatikan pranata sosial yang diinginkan Islam adalah kiai dan tidak semua kiai mempunyai kewibawaan dan pengaruh yang sama.
Salah satu kekuatan yang dapat diteladani dari diri kiai yaitu karena kemampuannya menjaga pranata sosial, kiai yang yang berwibawa akan mewujudkan perkembangan yang positif. Kewibawaan seorang kiai akan sangat berpengaruh jika memang hal ini dimiliki oleh kiai dan akan dipandang sebagai satu sosok/figur kharismatik dan berwibawa.
Demikian pula di pondok pesantren Al-Ihsan cibiruhilir Bandung, sebagian santri telah mampu berdisiplin dengan mengikuti jadwal pengajian yang telah ditentukan. Adapun proses pelaksanaan kegiatan pengajian di Ponpes ini lebih terstruktur dan terarah karena ditangani secara profesional. Hal ini dapat terlihat dengan jadwal kegiatan pengajian yang telah terpolakan secara rapih, dalam arti terjadwal dari pagi hari sampai malam hari, dan dibagi kedalam kelas-kelas, dimulai dari kelas pemula, menengah, dan kelas yang lebih tinggi. Di sisi lain, Ponpes Al-Ihsan didukung oleh tenaga pengajar yang profesional dibidangnya. Selain itu, sebagian besar dari santri di Ponpes Al-Ihsan adalah para mahasiswa yang datang dari berbagai daerah.
Lebih lanjut, Ponpes Al-Ihsan ini menerapkan peraturan bagi para santri untuk taat dan patuh pada ketentuan yang telah menjadi aturan Ponpes.Ketika sebagian santri ditanya mengenai kewibawaan  kiai secara umum mereka menganggap baik dan bisa dijadikan figur bagi peserta didiknya.Sebagian telah mampu berdisiplin dengan mengikuti jadwal pengajian yang telah di tentukan.Tetapi pada kesempatan lain dari pengamatan penulis,masih terdapat beberapa yang tidak disiplin,diantaranya tidak datang tepat waktu bahkan sampai tak ada yang hendak selesai pengajian mereka baru hadir di pengajian.Dari 300 orang santri yang telah mampu berdisiplin dalam mengikuti pngajian sekitar 70 % dan yang belum mampu berdisiplin dalam mengikuti pengajian adalah sebanyak 30 % (wawancara dengan Mentri pendidikan Ust.Baban Bani Adam pada tanggal 12 januari 2005)
Dari uraian diatas terdapat adanya kesenjangan , satu sisi mereka(santri) menganggap baik terhadap kewibaan kiai, tetapi disisi lain mereka tidak mencerminkan persepsinya tersebut. Hal ini terbukti dengan masih adanya santri yang tidak berdisiplin dalam mengikuti pengajian.
Berdasarkan fenomena diatas, menimbulkan persoalan yang harus diteliti lebih dalam, apakah persepsi santri tentang kewibawaan akan pengaruh kepada disiplin santri dalam mengikuti pengajian? Untuk menjawab permasalahan itu , maka penelitian itu akan diorientasikan pada judul : “PERSEPSI SANTRI TENTANG KEWIBAWAAN KIAI HUBUNGANNYA DENGAN KEDISIPLINAN MEREKA MENGIKUTI PENGAJIAN “ (Penelitian Di Pondok Pesantren Al-Ihsan Cibiruhilir Cilenyi Bandung)
B.  B.Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian di atas ada beberapa hai yang menjadi permasalahan dalam penelitian yaitu:
1.      Bagai mana persepsi santri tentang kewibawaan kiai?
2.      Bagai mana kedisiplinan santri dalam mengikuti pengajian di pondok pesantren Al-Ihsan ?
3.      Bagai mana hubungan persepsi santri tentang kewibawaan kiai dengan kedisiplinan mereka dalam mengikuti pengajian?
Untuk memper jelas arah pembahasan dalam peneliti ini, menulis akan menjelaskan istilah- istilah yg terdapat dalam judul skipsi ini. Kata persepsi menurut Slameto (1991;104) adalah peruses yang menyangkut pesa / informasi kedalam otak manusia. Sedangkan menurut Usman Ependi (1993: 112) bahwa yang dimaksud dengan persepsi (pengamatan) adalah proses penerimaan, penapsiran dan memberi arti dari kesimpulan dan yang di terimanya melalui alat indranya. Dari pengertian di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa persepsi adalah hasil pengamatan seseorang terhadap suatu objek yang dinyatakan dengan pendapat dengan pesan-pesan.
Dalam penelitan ini, kata persepsi dikaitkan dengan subjek santri dan objek “Kewibawaan Kiai”. Yang di maksud dengan santri adalah orang yang belajar di pondok pesantren. Sedangkan kata “kewibawaan”menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:57) yaitu suatu daya mempengaruhi yang terdapat seseorang sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan sukarela menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Dalam hal ini yang disoroti kewibawaan adalah kiai yang merupakan variable pertama yang membutuhkan jawaban atas pertanyaan baga mana tanggapan santri terhadap kewibawaan kiai di pesantren Al-Ihsan Cibiruhilir Bandung.
Variabel kedua dimulai dengan kata “disiplin” yang dimaksud disiplin adalah segala perbuatan yang selalu mentaati tata tertib atau peraturan. Menurut Cece Wijaya (1991: 118) kedisiplinan seorang siswa dapat dilihat dari ketaatan terhadap tata tertib belajar dan ketelitian serta ketepatan waktu belajar di kelas. Sedangkan Suharsimi Arikunto (1993: 114) memandang bahwa kedisiplinan siswa adalah sejauh mana kepatuhan dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada hatinya. Sebab bila ketaatan itu hanya terpaksa maka ketertiban yang tercipta akan banyak mengembangkan daya pikir dan kepribadian secara tidak wajar dan biasanya hanya sementara saja sifatnya.
Sedangkan kata “pengajian” berasal dari kata “kaji” artinya pelajaran terutama dalam hal agama (Balai Pustaka, 1994: 431). Darajat (1996:99) mengatakan pengajian adalah kegiatan pendidikan agama yang dari segi penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan kiai. Dengan kata lain pengajian adalah pendidikan non-formal Islam yang memiliki kurikulum tertentu yang dilaksanakan secara berkala dan teratur diikuti oleh jema’ah yang relatif banyak dan bertujuan membina dan mengembangkan hubungan yang santun diantara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya dan menusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyrakat yang bertaqwa.
C.  Tujuan Penelitian
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan , setiap hasil penelitian harus dipubilikasikan dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tempat penulis mengadakan penelitian ini, selain itu penulis ingin mencurahkan segala kemampuan untuk membantu tujuan pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan Pesantren Al-Ihsan, dan lembaga-lembaga Islam lainnya. Sealur dengan prinsip ini, penelitian akan penulis arahkan kepada pendeskripsian hasil analisis fenomena empirik yang secara material akan dispesifikasikan pada pangungkapan tentang:
1.      Persepsi santri tentang kewibawaan kiai di Ponpes Al-Ihsan.
2.      Kedisiplinan santri dalam mengikuti pengajian di Ponpes Al-Ihsan.
3.      Hubungan Persepsi santri tentang kewibawaan kiai dengan kedisiplinan santri dalam mengkuti pengajian.
D.  Kerangka Pemikiran
Setiap pekerjaan yang dibebankan kepada seseorang akan terasa ringan dan mencapai hasil yang gemilang jika hal tersebut dilaksanakan secara disiplin, sebab dengan disiplin pekerjaan akan dilakukan dengan semangat dan bersungguh-sungguh yang pada akhirnya akan mencapai suatu keberhasilan. Sebagaimana dijelaskan oleh Poerwadarminta (1985: 254) bahwa disiplin adalah:
1.      Latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala kegiatan selalu mentaati tata tertib.
2.      Ketaatan dapat dilaksanakan tata tertib dan peraturan.
3.      Ketaatan terhadap tata tertib dapat diterapkan dalam berbagai kehidupan untuk mencapai kesuksesan terhadap tujuan yang diinginkan.
Asumsi dari pendapat diatas bahwa sikap disiplin tidak akan tercipta secara spontan, akan tetapi memerlukan proses yang berkesinambungan yang dimulai dengan latihan secara kontinyu kemudian di pupuk sehingga akan melekat dalam watak yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang baik yang diwujudkan dengan sikap disiplin dalam melaksanakan peraturan yang berlaku.
Mengenai perilaku disiplin sebagaimana telah tersurat dalam al-Qur’an Surat At-Taghobun ayat 16 yang berbunyi:
(#qà)¨?$$sù ©!$# $tB ÷Läê÷èsÜtFó$# (#qãèyJó$#ur (#qãèÏÛr&ur (#qà)ÏÿRr&ur #ZŽöyz öNà6Å¡àÿRX{ 3 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßsÎ=øÿçRùQ$# ÇÊÏÈ
Artinya:  Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.( Taghobun: 16).
Disiplin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bertaqwa kepada Allah swt., mendengarkan perintah-Nya serta taat dan patuh kepada-Nya. Dalam kegiatan pendidikan, penanaman kedisiplinan merupakan faktor yang signifikan, karena dalam disiplin itu terdapat kontrol yang positif dalam mengerahkan potensi kreatifitas dan memotivasi individu untuk bertingkahlaku sesuai dengan aturan.
Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan (1991: 18) menjelaskan bahwa disiplin adalah keadaan tenang atau keteraturan dalam sikap atau tindakan. Jadi kesimpulan dari penulis bahwa kedisiplinan siswa merupakan penurutan siswa terhadap suatu peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dengan kesadaran sendiri untuk terealisasinya peraturan tersebut. Agar disiplin dapat dibina dan dilaksanakan dalam proses pendidikan sehingga mutu pendidikan dapat ditingkatkan, ada beberapa indikator yang perlu diperhatikan:
a)      Patuh terhadap peraturan sekolah atau lembaga pendidikan.
b)      Mengindahkan petunjuk-petunjuk yang berlaku di sekolah.
c)      Tidak membangkang terhadap peraturan yang berlaku.
d)     Tidak berbohong.
e)      Rajin dalam kegiatan belajar mengajar.
f)       Tepat waktu dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Kemudian taat terhadap kebijakan dan kebijaksanaan yang berlaku, meliputi:
a)      Menerima, menganalisis dan mengkaji berbagai pembaharuan pendidikan.
b)      Berusaha menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pendidikan yang ada.
c)      Tidak membuat keributan di dalam kelas.
d)     Mengerjakan tugas sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
e)      Menguasai diri dan introspeksi diri.
Untuk menumbuhkan kedisiplinan siswa dalam belajarnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor tanggapan siswa terhadap guru yang mengajarnya. Dalam proses belajar mengajar, siswa secara terus menerus memberikan penilaian, tanggapan dan persepsi serta pengamatan-pengamatan terhadap gurunya itu, yang mana hasilnya akan berdampak terhadap kedisiplinan belajar siswa. Oleh karena itu, jika seorang pendidik tidak memiliki dan tidak menunjukan sikap yang berwibawa, maka akan mengakibatkan siswanya kurang disiplin dalam belajarnya. Hal senada disampaikna oleh Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan (1992: 21) bahwa kewibawaan perlu dimiliki oleh guru, sebab dengan kewibawaan proses belajar mengajar akan terlaksanakan dengan baik, tertib dan disiplin.
Ngalim Purwanto (2000: 49-50) mengemukakan, bahwa kewibawaan guru atau pendidik lainnya yang bukan orangtua, menerima jabatan sebagai pendidik dari pemerintah, anak akan tunduk dan patuh karena mengakui hak orang lain untuk memerintah. Pelaksanaan kewibawaan oleh pendidik harus berdasarkan kepada norma-norma dan pemberian contoh yang baik atau teladan. Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991: 57) kewibawaan atau gezag adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengannya, secara sadar dan sukarela menjadi tunduk dan patuh kepadanya.
Dari beberapa pendapat dan uraian tentang kewibawaan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewibawaan atau gezag itu merupakan suatu kekuatan jiwa yang dapat mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain tersebut merasa segan dan hormat serta patuh terhadap segala perintah dan larangannya, juga nasehat yang diberikan ia turuti dengan segala kesadaran dan kerelaan.
Adapun untuk masalah kewibawaan, penulis mengambil beberapa pendapat sebagai pendalaman dari ahli pendidikan, antara lain: pendapat Ngalim Purwanto (1998: 48) bahwa tindak kewibawaan adalah pekataan yang meliputi perintah, larangan dan nasehat yang harus ditaati oleh murid.
A. Samana (1994: 23) mengemukakan, diantara bentuk kewibawaan itu yang lahir keunggulan pribadi pendidik itu sendiri yang bersikap tulus dalam pergaulan serta tugas-tugasnya sebagai pendidik. Sedangkan Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1995: 58) kewibawaan itu timbul dari kewibawaan lahir (pakaian lengkap dan rapih, berbicara yang baik dan bersikap sopan) serta kewibawaan batin yakni penuh kecintaan terhadap orang lain, membela kepentingan orang lain dan kelebihan batin lainnya, seperti berlaku adil, bijakasana dan penuh tanggungjawab.
Secara teoritik dapat dipahami bahwa tinggi rendahnya disiplin belajar seseorang antara lain dipengaruhi tanggapan seseorang terhadap kadar kewibawaan yang dimiliki oleh gurunya. Sealur dengan rencana penelitian, penulis ingin membuktikan sejauh mana kebenaran teori tersebut jika diterapkan kepada kasus yang melibatkan para santri Al-Ihsan Cibiruhilir Cileunyi Bandung. Dalam hal ini penulis akan meneliti beberapa indikator dari dua variable yang diteliti. Variable pertama yaitu kewibawaan antara lain:
1.        Perkataan yang meliputi larangan, perintah dan nasehat (Ngalim Purwanto. 2000: 48).
2.        Keunggulan pribadi dalam pergaulan dan tugasnya sebagai pendidik (A. Samana, 1994: 23)
3.        Berpakaian rapi (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 1991: 118)
Sedangkan untuk variabel kedua tentang kedisiplinan santri mengikuti pengajian adalah:
1.      Patuh terhadap peraturan sekolah.
2.      Tidak malas dalam belajar.
3.      Tepat waktu dalam belajar.
4.      Tidak membuat keributan di dalam kelas.
5.      Mengerjakan tugas sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. (Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, 1991: 18).



Untuk lebih jelasnya kerngka pemikiran di atas dapat dilihat pada skema atau bagan berikut ini:
E.   Hipotesis
Hipotesis menurut Suharsimi Arikunto (2002: 64) adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu persepsi santri tentang kewibawaan kiai dan disiplin mereka dalam mengikuti pengajian.
Dalam kerangka itu diasumsikan bahwa disiplin belajar seseorang berkaitan erat dengan sesuatu yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah tanggapan orang itu terhadap kewibawaan yang dimiliki oleh gurunya. Dari asumsi itu dengan membatasi diri pada kasus yang melibatkan santri di Ponpes Al-Ihsan , maka penelitian ini akan berangkat dari hipotesis, semakin baik tanggapan santri di Ponpes Al-Ihsan terhadap kewibawaan kiai, maka akan semakin tinggi kedisiplinan mereka dalam mengikuti pengajian. Sebaliknya, semakin jelek tanggapan mereka terhadap kewibawaan kiai, maka akan semakin rendah tingkat kedisiplinan mereka dalam mengikuti pengajian. Untuk membuktikannya, maka penulis melakukan pembuktian dengan menguji Hipotesis nol (Ho), yang menyatakan tidak ada pengaruh persepsi santri tentang kewibawaan kiai terhadap kedisiplinan mereka dalam mengikuti pengajian. Prosedur penelitian ditempuh dengan jalan membandingkan harga thitung dengan ttabel. Apabila harga thitung lebih besar dari ttabel, maka Hipotesis nol ditolak. Sebaliknya, apabila thitung lebih kecil dari ttabel, maka Hipotesis nol diterima. Dengan statistik jika th ≥ tt = Ha diterima Ho ditolak, dan jika th < tt = Ha ditolak dan Ho diterima.
F.   Langkah-Langkah Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Menentukan Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Namun untuk kepentingan data kuantitatif, maka data tersebut akan dikuantitatifkan dengan uraian sebagai berikut:
a)      Data variabel X persepsi santri kewibawaan kiai.
b)      Data variabel Y tentang kedisiplinan santri dalam mengikuti pengajian.
2.    Menentukan Sumber Data
Penentuan sumber data ini berkaitan erat dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Menentukan Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian ini di Pondok Pesantren Al-Ihsan Cibiruhilir Cileunyi Bandung. Penentuan lokasi ini didasarkan pada latar belakang masalah yang menunjukan adanya kesenjangan antara pemenuhan kriteria kewibawaan yang ditampilkan sebagian santri dalam mengikuti pengajian. Selain itu penulis tinggal di pesantren tersebut, sehingga memudahkan dalam memperoleh data.
b)      Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002: 108). Menurut Sudjana (2002: 6) bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung, ataupun pengukuran, kualitatif maupun kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santri Ponpes  Al-Ihsan yang berjumlah 300 orang. Untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini akan disesuaikan dengan teori yang dikemukakan Suharsimi Arikunto (2002: 112) yang menyatakan apabila subjek penelitian kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya, sehingga penelitian merupakan penelitian populasi, dan apabila subjek penelitian lebih dari 100, maka dapat diambil antara 10% s/d 15% atau 20% s/d 25% atau lebih. Berdasarkan petunjuk pengambilan diatas, dalam penelitian ini penulis akan mengambil sampel sebanyak 20% dari jumlah populasi 300 orang, sehingga jumlah sampel seluruhnya sebanyak 60 orang. Dilihat dari tekhnik penarikannya, penentuan 60 orang tersebut akan dilakukan prinsip random, yakni penelitian mencampur subjek-subjek didalam populasi sehingga subjek dianggap sama.
3.    Menentukan Metode dan Tekhnik Pengumpulan Data
a)    Metode Penelitian
Secara umum penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu metode yang diarahkan pada pemecahan masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan apa adanya hasil penelitian. Metode ini bertujuan pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang.
b)   Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data tersebut, penulis menggunakan tekhnik-tekhik sebagai berikut:
1)       Observasi menurut Arikunto (2002: 133) adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan mempergunakan seluruh alat indera. Tekhnik ini digunakan dengan maksud untuk meneliti dan mengamati kewibawaan kiai dan untuk mendapatkan data tentang disiplin santri dalam mengikuti pengajian di Ponpes Al-Ihsan. Disamping itu, dimaksudkan pula untuk memperoleh gambaran  tentang sarana prasarana yang digunakan dalam proses belajar mengajar (pengajian). Adapun aspek yang diangkatnya adalah kewibawaan kiai yang dimiliki oleh kiai, disiplin santri dalam mengikuti pengajian dan kelengkapan sarana dan prasarana proses belajar mengajar (pengajian).
2)       Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk menambah informasi dari yang di wawancara (Arikunto, 2002: 132). Tekhnik ini dilakukan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan proses belajar mengajar, sarana dan prasarana mengajar. Selain itu juga dimaksudkan untuk menambah data tentang sejarah berdirinya pesantren Al-Ihsan. Adapun aspek yang akan diangkatnya adalah tanggapan santri tentang kewibawaan kiai dan disiplin dalam mengikuti pengajian.
3)       Angket, menurut Sugiyono (2003: 162) bahwa angket atau kuesioner merupakan tekhnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya, dalam arti laporan tentang pribadi atau hal-hal yang ia ketahui. Angket yang berisi beberapa pertanyaan tentang kewibawaan kiai dan disiplin santri dalam mengikuti pengajian.

4.    Analisis Data
Analisis yang dilakukan ini meliputi analisis parsial dan analisis koresional. Yaitu sebagai berikut:
a.       Analisis Parsial
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui keadaan variabel. Alat yang digunakan adalah:
1)      Analisis Parsial Perindikator, yaitu dengan cara menilai mean (X) perindikator. Rumus yang digunakan adalah:
              (Anas Sudjono, 2001: 80)
Apabila diinterpretasikan kedalam skala lima normal absolut adalah sebagai berikut:
Antara 0,5 – 1,5 sangat rendah
Antara 1,5 – 2,5 rendah
Antara 2,5 – 3,5 cukup
Antara 3,5 – 4,5 tinggi
Antara 4,5 – 5,5 sangat tinggi
2)      Mengukur tendensi sentral
Langkah serta rumus yang digunakan dalam mengukur tendensi sentral adalah:
a)   Menentukan rentang (R), yaitu:
R = H – L + 1                 (Anas Sudjono, 2001: 49)
b)   Kelas interval (KI), dengan rumus:
KI = 1 + 3,3 log n.          (Sudjana, 2002: 47)
c)   Panjang kelas (PK), dengan rumus:



0 Response to "Proposal Penelitian Santri Tentang Kewibawaan "

Posting Komentar