Jika anda adalah orang yang kurang paham dengan ilmu sosiolinguistic, mungkin dengan contoh makalah ini, pengetahuan anda dapat tergali dan mugkin juga ini adalah referensi yang cocok bagi anda untuk memperdalam lagi tentang ilmu sosiolinguistik. Berikut adalah contoh makalah tentang ilmu sosiolinguistik.
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpah curahkan
rahmat dan hidayah-Nya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas
mata kuliah Semantik.
Pembelajaran disekolah harus selalu
ditingkatkan agar pembelajaran yang dilaksanakan mampu mencapai tujuan yang telah
ditetapkan .Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur
yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan
sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima.
Penulis menyadari bahwa selama
penulisan proposal ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak oleh sebab itu , penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Iin
Tjarsinah selaku dosen mata kuliah sosiolinguistik
2.
Kedua orang tua yang telah memotivasi memberikan doa
dan dorongan baik moril serta materil yang tiada batasnya.
Makalah
ini bukanlah karya yang sempurna karna
masih memiliki banyak kekurangan , baik dalam isi maupun sistematika dan teknik
penulisannya.Oleh sebab itu , penulis sangat mengharapkan saran dan keritik
yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.Akhirnya semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembacaa. Amin.
Tasikmalaya, Penulis
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa selalu mengalami perkembangan dan
perubahan.Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan
sosial, ekonomi, dan budaya.Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi,
ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh
bahasa yang lain. Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan
bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral
kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas.Saling mempengaruhi
antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan,
mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer
dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa
oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer
atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup
semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling
mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito
(1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara
bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam
keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling
mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya,
interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Adanya kedwibahasaan juga akan menimbulkan
adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu
penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena
keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya
kontak bahasa.
Selain kontak bahasa, faktor penyebab
timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam Sukardi 1999:4) adalah tidak
cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan.
Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan
sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya
kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya
interferensi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan runusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan Interferensi?
2.
Bagaimana faktor
penyebab terjadinya Interferensi?
C.
Tujuan
Makalah
Sejalan dengan rumusan
masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan
mendeskripsikan;
1.
Pengertian Interferensi;
2.
Bagaimana faktor penyebab terjadinya Interferensi;
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan
diharapkan memberikan kegunaan khususnya bagi penulis yaitu sebagai wahana
penambah pengetahuan dalam Perkembangan
dan perubahan yang terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan
budaya.Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
E. Posedur Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi
pustaka dari sumber-sumber yang relevan untuk dijadikan sebagai penguat
keobjekan makalah.
BAB II PEMBAHASAN
A . Tinjauan
Teoretis
1.
Pengertian
Interferensi
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan
pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa
“interferensi merupakan kekeliruan yang
disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan
(ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi,
tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa
interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang
tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat
(sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan (1984),
merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan
ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan
itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah
peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Untuk memantapkan pemahaman mengenai
pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran
para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut
pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich
untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam
menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain.
Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga
dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan
Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek
kedua.
Abdulhayi
(1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi
merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa
pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua).Sebagai
konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu
ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat
lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan
pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa
interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan
membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi
pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67)
menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain
perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya
dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian
lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi
sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem)
bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya
gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.
Interferensi
merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam
perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa
Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari
interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam
lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada
bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga
tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok
perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1)language
loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language
pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness
of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan
terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki
seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap
keberadaan bahasanya.Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang
munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa
pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa,
jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi
terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa
yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa
penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi
oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau
unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada
saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain,
dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai
bahasa sumber.Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian
interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
1.
kontak
bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
2.
interferensi
merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
3.
unsur
bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan
dampak negatif, dan
4.
interferensi
merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap
sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah
unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah
menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur
pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra
(1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah
disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa
lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi)
sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu
sudah terintegrasi.Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa
penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti
halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai
gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya
dianggap sebagai penyimpangan.Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak
perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya
dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan
bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling
minim.
2. disebabkan interferensi
dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk,
tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan
bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
1.
bahasa
sumber atau bahasa donor
2.
bahasa
penyerap atau resipien
3.
unsur
serapan atau importasi
Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata
berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada
kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan
/mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
Interferensi dalam bidang
morfologi
Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa
sebagai interferensi yang paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam
pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering
kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan,
kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai
bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang
benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal,
kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas
bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut
mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks
dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi.Hal ini
memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian
sesuatu bahasa.Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung
itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan
kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena
sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu:
Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal
itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut
disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake
Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
Interferensi Semantik
Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi
semantis dapat dibedakan menjadi,
1.
Jika
interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta
namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya
kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
2.
Yang
perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan
campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa
penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya
sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, campur kode
adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi
merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua
bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur
yang mengenal lebih dari satu bahasa. Penyebab terjadinya interferensi
adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi
oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam
penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau
bahasa ibu
2.1.1 Jenis Interferensi
Interferensi merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik
yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa
atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual.Hal ini merupakan suatu
masalah yang menarik perhatian para ahli bahasa.Mereka memberikan pengamatan
dari sudut pandang yang berbeda beda. Dari pengamatan para ahli tersebut timbul
bermacam-macam interferensi.
Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi
menjadi lima macam, yaitu
(1) Interferensi kultural dapat
tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan
dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur
untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
(2) Interferensi semantik adalah
interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variabel dalam
suatu bahasa.
(3) Interferensi leksikal, harus
dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu
dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian
bahasa kedua.Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam
bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
(4) Interferensi fonologis mencakup
intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
(5) Interferensi gramatikal meliputi
interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat
dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi
antara lain:
(1) Interferensi ditinjau dari asal
unsur serapan
Kontak bahasa bisa terjadi antara
bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat.
Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal
interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa.
Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan
bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa
interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
(2) Interferensi ditinjau dari arah
unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu
bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat
mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi
yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di
samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber
terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti
ini disebut interferensi reseptif.
(3) Interferensi ditinjau dari segi
pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya
bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam
kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam
bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa
perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance
interference.Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa
asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4) Interferensi ditinjau dari segi
bidang.
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa
merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak
menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh.Bila interferensi itu sampai
menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik.
Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada
sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat
(sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna
(semantik).
Dennes dkk.(1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich
mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai
berikut.
(1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke
dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang
ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa
sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
(2) Penggantian unsur suatu bahasa
dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian
itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut
substitusi.
(3) Penerapan hubungan ketatabahasaan
bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau
pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam
bahasa A.
(4) Perubahan fungsi morfem melalui
jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A
tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu
model tata bahasa A
Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu
(1) interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi
unsur-unsur bahasa A, dan (2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa
penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur bahasa B.
Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima
aspek kebahasaan, antara lain
1.
interferensi
pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
2.
interferensi
pada tata bentukan kata (morfologi)
3.
interferensi
pada tata kalimat (sintaksis)
4.
interferensi
pada kosakata (leksikon)
5.
interferensi
pada bidang tata makna (semantik)
Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang
semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni
(1) Interferensi semantik
perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini dipakai
apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.
(2) Interferensi semantik
penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi
apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru
bergeser dari makna semula.
(3) Interferensi semantik
penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi
apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi
empat jenis, yaitu
(1) Interferensi Bunyi (phonic
interference)
Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu
bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.
(2) Interferensi tata
bahasa (grammatical interference)
Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan
mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam
bahasa keduanya.
(3) Interferensi kosakata (lexical
interference)
Interferensi ini bisa terjadi dalam berbagai
bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.
(4) Interferensi tata makna
(semantic interference)
Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b) interferensi penambahan makna, dan
(c) interferensi penggantian makna.
Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich
mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu
(1) mentransfer unsur suatu bahasa ke
dalam bahasa yang lain,
(2) adanya perubahan fungsi dan
kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
(3) penerapan unsur-unsur bahasa kedua
yang berbeda dengan bahasa pertama,
(4) kurang diperhatikannya struktur
bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi dalam bahasa pertama.
3.Faktor
Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya
interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah
maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri
penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima
cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian
kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa
sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya
akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan
oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak cukupnya kosakata
bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas
pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat
yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu,
jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu
dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai
kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan
kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa
akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep
baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima
untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan
menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru,
cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang
diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena
unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata
bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan
cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang
bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada
konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang
sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi,
yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata
yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang
disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau
unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut
dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang
cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari
pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan
kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai
variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara
berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa
sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata
baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima.Dengan
demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya
interferensi.
6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya
interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat
menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa
sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam
berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian
unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
7). Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa
penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol
bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat
terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa
nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai
bahasa kadang-kadang kurang kontrol.Karena kedwibahasaan mereka itulah
kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua
yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan
dikuasainya.
2.2 Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara
sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh
pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman
kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan
masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168)
mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah
unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah
menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman
atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa
masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat
diukur.Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya
integrasi, yang juga bersifat nisbi.Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu
dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap
bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang
lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa
jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan
seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu semakin
diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi.
Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses,
sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa
penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan
untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus.Dalam hal ini,
jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa
penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi.Sebaliknya, jika unsur
tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum
terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah
disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa
lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya
terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur
integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya
memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa
sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur
serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa
penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan
penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi
tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem
bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah
sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa
pada penutur bahasa penyerapnya.
BAB III KESIMPULAN
A. Penutup
Meskipun berbeda, antara
interferensi dan integrasi sebenarnya memiliki sisi yang sama, yaitu bahwa
keduanya merupakan gejala bahasa yang terjadi sebagai akibat adanya kontak
bahasa. Integrasi dan interferensi memiliki persamaan
-persamaan antara lain bahwa baik gejala interferensi maupun integrasi bisa
terjadi pada keempat tataran kebahasaan yaitu fonologi, gramatika, kosakata dan
semantik.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa
Madhab dan dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis
kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya.
Bawa, I Wayan. 1981. “Pemakaian Bahasa Indonesia yang
Baik dan Benar”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina.1995. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Nuril dkk.1981. Interferensi
Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur.Jakarta.Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hayi, Abdul dkk. 1985. Interferensi
Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Jendra.I Wayan. 1991. Dasar-Dasar
Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction
to Word Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Nababan.P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta:
Gramedia.
Suwito. 1985. Pengantar Awal
Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta.
0 Response to "Makalah Sosiolinguistik Interfensi dan Integrasi Bahasa"
Posting Komentar